OLIMPIADE AGUSTUSAN DAN HARMONI DALAM KEBERAGAMAN

Apa jadinya jika tradisi lomba Agustusan diikuti oleh turis mancanegara? Pertanyaan itu terjawab di Desa Wisata Gunungsari, Kabupaten Madiun. Desa ini menghadirkan cara baru untuk memaknai tradisi yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Lomba Agustusan, yang biasa dirayakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia, diolah menjadi sebuah festival unik bernama “Olimpiade Agustusan”. Perhelatan ini tidak hanya menjadi ajang perlombaan, tetapi juga ruang pertemuan budaya yang mampu menghapus batas-batas negara.

Gunungsari merupakan desa wisata yang terletak di Kabupaten Madiun. Wisatawan mancanegara acap kali berkunjung bukan sekedar untuk berwisata tapi juga mengenal dan belajar kebudayaan lokal. Ketika bertepatan dengan hari jadi nasional para wisatawan mancanegara pun antusias untuk turut serta dalam perayaan dengan mengikuti perayaan lomba agustusan yang disulap menjadi “Olimpiade Agustusan”.

Dengan nama yang terdengar megah, Olimpiade Agustusan sebenarnya mengemas permainan tradisional Indonesia dalam format yang sederhana, seperti lomba junjung tampah, makan kerupuk, hingga balap kelereng. Namun, di tangan kreatif masyarakat Desa Gunungsari, kegiatan ini berubah menjadi perayaan keberagaman yang menghidupkan semangat kebersamaan antar bangsa.

Dalam sebuah foto, terlihat warga lokal berlomba dengan turis mancanegara dalam lomba junjung tampah. Mereka berjalan dengan tampah di atas kepala, berusaha menjaga keseimbangan sambil melangkah menuju garis finis. Anak-anak dan warga lokal bersorak di tepi arena, memberi semangat dengan tawa dan tepuk tangan. Di tengah perlombaan itu, tidak ada lagi sekat antara peserta lokal dan asing. Semua melebur dalam persatuan, melupakan sejenak perbedaan asal, bahasa, dan budaya.

Turis asal Prancis dan Spanyol pun terlihat ikut berlomba dengan semangat yang sama. Dengan tampah di atas kepala, mereka berjalan perlahan sambil berusaha tidak kehilangan keseimbangan. Permainan yang sederhana ini menjadi istimewa karena tidak lagi soal menang atau kalah, melainkan soal kebersamaan dan pengalaman berharga yang mereka rasakan.

Dalam foto lain, tampak lomba makan kerupuk yang telah diikuti peserta asal Prancis dan Jerman. Mereka mencoba menggigit kerupuk yang tergantung di tali, sementara warga berseru memberi semangat. Perlombaan ini tidak hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga sebuah simbol gotong royong dan kehangatan khas budaya Indonesia.

Salah satu momen lain yang sangat menghibur dalam festival ini adalah lomba balap kelereng. Dalam sebuah foto, seorang turis terlihat serius menjaga kelereng agar tidak jatuh dari sendok yang digigitnya. Suasana riuh penuh kegembiraan menjadi penanda bahwa yang terpenting bukanlah hasil akhirnya, melainkan energi positif yang menyatukan semua orang dalam satu ruang.

Olimpiade Agustusan ini bukan sekadar lomba. Ia adalah simbol cinta warga desa terhadap tradisi yang kelak hanya hidup dalam ingatan. Lebih dari itu, festival ini menjadi laboratorium kecil keberagaman, di mana perbedaan disambut dengan tawa dan rasa ingin tahu. Desa Gunungsari telah membuktikan bahwa tradisi lokal tidak hanya relevan, tetapi juga mampu menjadi jembatan untuk mempertemukan budaya dari berbagai belahan dunia.

Festival seperti ini mungkin tidak akan mengubah dunia. Namun, di tengah hiruk-pikuk perdebatan tentang identitas dan perbedaan, ia memberikan pengingat sederhana, bahwa terkadang, yang kita butuhkan hanyalah tampah di kepala, kelereng di sendok, dan keberanian untuk menertawakan diri sendiri untuk bisa memahami arti persatuan. Foto-foto dari festival ini bukan hanya gambar diam, melainkan fragmen cerita besar tentang bagaimana sebuah desa kecil di Indonesia mampu menjembatani dunia. Gunungsari adalah bukti bahwa tradisi, sekecil apa pun, bisa memiliki dampak yang luar biasa. ( Mukhtar Amirul Mukminin )

Still hungry? Here’s more