Desa Gunungsari, yang terletak di dataran tinggi dengan pemandangan sawah dan pegunungan, menjadi tempat yang unik untuk berkumpulnya berbagai budaya. Interaksi dengan penduduk setempat dan warisan seni tradisional desa ini adalah cara unik untuk “membaca” Indonesia bagi para pendatang dari berbagai belahan dunia. Mereka tidak hanya menonton; mereka juga merasakan dan mempelajari prinsip-prinsip yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat.
Sebuah kelompok turis asing yang berasal dari berbagai negara dan etnis tiba di desa Gunungsari dan disambut dengan baik oleh penduduk lokal. Terjadi percakapan budaya yang inspiratif karena mereka terbuka untuk mempelajari seni tradisional setempat. Alat musik tradisional Jawa, seperti gender cokekan dan saron, merupakan daya tarik utama. Suara gamelan yang mendayu dan semaraknya memikat pendatang yang belum pernah melihat atau mendengar musik jenis ini sebelumnya.
Selama pengalaman langsung, pengunjung memegang bilah logam alat musik saron dan gender coke. Mereka menyadari bahwa penting untuk memperhatikan irama dan tempo yang selaras dengan instrumen lain di setiap tabuhan. Selain itu, suara harmoni dianggap sebagai representasi dari kebersamaan dan kerja sama, dua nilai yang sangat penting dalam budaya Indonesia. Setelah beberapa warga setempat turut memberikan arahan, suasana keakraban semakin terasa. Mereka menciptakan momen kebersamaan yang kuat meskipun berasal dari berbagai budaya.
Pertemuan dengan kesenian lokal itu menimbulkan kekaguman bagi pengunjung dari Amerika, Eropa, dan Timur Tengah. Setiap irama musik mengirimkan pesan kebersamaan yang universal, tidak peduli bahasa atau budaya yang digunakan. Mereka tidak hanya memiliki kesempatan untuk mempelajari musik, tetapi mereka juga memiliki kesempatan untuk mempelajari filosofi hidup warga desa yang sangat dekat dengan alam. Ini tercermin dalam kearifan lokal, yang menghargai keselarasan antara Sang Pencipta, lingkungan, dan manusia.
Saat pengunjung mencoba berbagai makanan tradisional, pengalaman mereka semakin berwarna. Makanan di desa Gunungsari adalah sarana untuk berkolaborasi, bukan hanya rasanya. Hidangan tradisional ini menyajikan kehangatan rumah bagi para tamu dengan bahan-bahan segar dari kebun dan metode masak yang sederhana. Tak mengherankan jika setiap suapan memicu diskusi hangat tentang bumbu, cara memasak, dan kisah di balik setiap sajian. Makanan membantu para pendatang memahami pentingnya keramahan dan gotong royong, yang merupakan inti dari kehidupan sehari-hari masyarakat desa.
Selama beberapa hari, hubungan emosional terbentuk antara penduduk lokal dan orang asing. Timbul percakapan menyenangkan tentang perbedaan budaya dan kemiripannya, seperti perbedaan bahasa, kebiasaan makan, dan cara melihat alam, selama pelatihan alat musik atau diskusi tentang tradisi. Semua ini menunjukkan bahwa keragaman budaya memberikan kekayaan kepada manusia.
Warga desa mengadakan makan malam sederhana di sebuah pendopo saat momen perpisahan tiba. Sorak-sorai dan ketawa menunjukkan suasana yang ceria dan haru. Hal ini menunjukkan kepada wisatawan bahwa masyarakat Indonesia dan kekayaan budayanya bukan hanya cerita; mereka telah mengalaminya secara langsung. Kenangan itu diharapkan terus melekat, menjadi bekal untuk memberi tahu teman dan keluarga di negara asal tentang Indonesia.
Melalui berbagai pengalaman ini, turis asing “membaca” Indonesia lebih dari buku panduan atau cerita online. Mereka merasakannya melalui ketukan gamelan, makanan tradisional, percakapan santai di teras rumah, dan ritual perpisahan yang tulus. Desa Gunungsari telah menjadi cermin yang memantulkan keragaman dan kekayaan budaya sekaligus mengajarkan nilai-nilai kebersamaan yang melampaui perbedaan bahasa dan asal-usul. ( Kahfi A. Aziz )